Old school Easter eggs.
HomeBlog

Pagi ini aku telah melakukan hal yang tak baik. Aku merasa sangat bersalah. Karena aku telah melakukan hal vulgar dengan rekan kerja suamiku. Harus apakah aku? Apa aku perlu meminta maaf ketika suamiku pulang nanti? Ketika kepalaku pusing dipenuhi oleh semua pertanyaan itu tiba-tiba saja aku mendengar bel pintu depan di bunyikan. Aku pun lekas menghampiri pintu dan membukanya dengan harapan melihat suamiku membawa kabar gembira. Karena hari ini adalah hari dimana uang pinjamannya turun.

"Hai kak Mawar!"
"Geh!?"

Bukannya suamiku, yang kulihat malah seseorang yang membuatku sebal. Ya, benar sekali dia adalah Jaka yang seolah tanpa dosa tersenyum dengan riangnya. Apa dia sudah lupa kalau dia baru kena gampar olehku karena telah menipuku? Atau mungkin dia amnesia karena tamparanku terlalu keras? Anehnya dia malah dengan tenangnya menyapaku, dan kulihat dia juga memegang kantong keresek yang entah apa isinya.

"Kenapa kamu kemari? Sebentar lagi suamiku pulang, kalau kamu tidak pergi, akan kuadukan kejadian tadi pagi pada suamiku!"
"Kak Mawar galak banget ya. Tenanglah sedikit. Aku kemari pun bukan untuk cari masalah kok."
"Pergilah! Justru kamu kemari selalu bawa masalah!"
"Jangan gitu lah kak? Kakak yakin ingin mengusirku saat aku punya ini?"

Jaka kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal dan memperlihatkannya padaku.

"Apa itu?" tanyaku.
"Ini adalah uang pinjaman dari kantor, memangnya apa lagi" jawabnya.
"Hah? Kok bisa ada di kamu?"
"Nanti akan kujelaskan di dalam. Bolehkah aku masuk?"

Jika aku tak mengijinkannya masuk, aku yakin dia akan melakukan sesuatu dengan uang itu. Jadi aku tak punya pilihan lain selain mengijinkannya masuk saat itu.

"Ya, silakan" balasku.

Dia pun masuk ke dalam dan tanpa banyak bertanya langsung duduk di sofa.

"Mau minum apa?" tanyaku dengan judes.
"Ah, tidak perlu. Kakak temani saja aku di sini."
"Hah?"
"Ayolah, aku tidak akan menggigit kok."

Akhirnya aku pun duduk di sebelah Jaka. Namun aku mencoba menjaga jarak darinya.

"Uuhh.. disini gerah ya."

Tiba-tiba saja dia menurunkan celananya sehingga ia hanya mengenakan kolor saja untuk bawahannya. Sementara untuk atasannya ia juga membuka pakaian kerjanya sehingga kini hanya memakai kaos kutang saja.

Gerah apanya? Padahal aku tidak merasa gerah sama sekali.

Dia kemudian mulai memepet tubuhku. Ia memepet tubuhku ke pinggiran sofa. Aku merasa agak risih karena tubuhnya menempel padaku. Karena aku yang hanya mengenakan tanktop jadi kulit lengannya menyentuh langsung ke kulit dadaku akibat dempetan kami.

"Kakak ngapain duduk jauh-jauh sih? Agak deketan lah biar enak ngobrolnya."
"Kalau cuma ngobrol kan gak perlu dempetan juga kedengeran."

Tapi ia sama sekali tak menghiraukan keluhanku dan tangannya malah melingkar mendekap tubuhku. Aku merasakan tangannya itu kini menyentuh tepian dadaku dari sisi yang lain seolah tak sengaja karena dekapannya, padahal aku yakin dia sengaja melakukannya. Jadi aku pun mencoba menggeser tubuhku supaya tangannya itu tak memegang dadaku lagi. Akan tetapi bukannya lepas, tangannya itu malah langsung mencengkeram dadaku seolah tak ingin kehilangan dadaku.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa uangnya bisa ada di kamu?" tanyaku dengan tegas.
"Oh tadi senior yang menitipkannya kepadaku."
"Dia menitipkannya kepadamu?"
"Ya. Karena senior ada urusan."
"Urusan apa memangnya?"
"Pak Tito menyuruhnya untuk mengirimkan sesuatu ke rumahnya, jadi senior takkan pulang hingga hingga malam nanti."
"Emang nganterin apaan mesti selama itu?"
"Ya mana aku tahu. Mungkin sesuatu yang menyegarkan??"

Entah kenapa aku seperti mendengar kalau ia seakan ingin menegaskan kata menyegarkan barusan. Mungkin hanya perasaanku saja.

"Oh iya, senior juga memintaku untuk menemani kak Mawar selagi senior pergi" lanjutnya.

Lagi-lagi ia menekankan nadanya, kali ini di kata menemani.

"Tidak usah. Cukup serahkan saja uangnya, kamu sudah boleh pulang."

Tiba-tiba saja aku merasakan dadaku diraba dan diremas. Bukan dari luar pakaianku, kali ini aku langsung merasakannya antara kulit dengan kulit.

"Kakak yakin? Kakak tidak ingin melanjutkan yang tadi pagi?"
"Tidak, terima kasih."

Aku mencoba menarik tangan kanan Jaka dari dadaku.

"Jadi kakak beneran tidak ingin ini nih? Meskipun senior belum tentu akan memberikan jatah kakak hari ini? Aku yakin kakak mau ini."

Jaka kemudian menarik lenganku dan menaruhnya di pahanya. Atau mungkin tepatnya adalah sesuatu yang ada di pahanya. Aku tersentak sedikit ketika menyentuhnya, karena aku terkejut. Aku mengenalinya. Benda yang ia buat tanganku untuk menyentuhnya adalah kontolnya yang sedang tegang. Ia mengeluskan tanganku ke kepala kontolnya dan kemudian ke batangnya yang keras. Ia membuat tanganku seolah mengocok kontolnya.

"Keras banget. Lebih keras dari sebelumnya.."
"Hah? Kakak bilang apa?"

Aku pun terkejut karena baru sadar telah keceplosan mengatakannya.

Jaka langsung bangkit dan menurunkan kolornya lalu berdiri di depanku. Jaka kemudian mengambil sebotol madu dari dalam kantong plastik yang ia bawa sebelumnya. Ia membuka tutup botol madu itu dan mulai menuangkannya ke kontolnya. Ia menuangkan dan melumuri seluruh permukaan kontolnya yang tegang itu dengan madu yang tampak begitu kental.

"A-apa yang kamu rencanakan?" tanyaku.
"Ini biar kakak merasa enak ketika nyepongin kontolku."
"Hah? Memangnya siapa-"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ia langsung menghujamkan kontolnya yang tegang dan sudah terlumuri madu itu ke mulutku yang sedang terbuka. Lalu ia langsung memegang kepalaku dengan tangan kanannya, dan ia pun memaju-mundurkan pinggulnya mendorong kontolnya keluar masuk di rongga mulutku.


"Ghh.. ghh.. henkikan.. engap.."

Aku mencoba memintanya berhenti karena merasa pengap, tapi kontolnya menyumpal mulutku. Kontolnya panjang dan terasa lebih keras dan besar dari sebelumnya ketika aku menyepongnya waktu itu. Kontolnya masuk begitu dalam hingga bagian kepalanya kadang masuk ke kerongkonganku. Kepala kontolnya telah memperawani kerongkonganku.

"Aahh.. kakak memang asoy. Sepongan kakak enak banget.."

Ia terus berusaha membenamkan kontolnya sedalam yang ia bisa ke dalam mulutku. Aku bisa merasakan bentuk kontolnya di mulutku, namun rasanya bukan rasa kontol melainkan rasa madu yang begitu manis. Seolah aku sedang merasakan permen madu tapi dengan bentuk dan kesan sensasi kontol. Hal itu membuatku tak bisa berpikir jernih selain menginginkannya lebih banyak.

Rasa madunya perlahan mulai menghilang dan kembali berganti dengan rasa kulit. Dan seolah tahu rasa madunya telah pudah, Jaka menarik kontolnya keluar dari mulutku dan melumurkannya lagi. Lalu ia menusukkannya lagi ke dalam rongga mulutku.

Suara becek dan suara seruputan keluar dari mulutku yang diperkosa oleh Jaka.

Hal itu terus berlangsung hingga rasa madunya habis lagi dan ia mencabut kontolnya lagi dari mulutku.

"Bagaimana kalau kita ganti gaya?" tanya Jaka berbisik di telingaku.

Aku tak bisa menjawabnya karena otakku masih blank oleh kejadian tadi.

Dan tanpa menjawabnya pun Jaka tetap melakukannya. Ia membalikkan tubuhku di sofa itu sehingga kakiku ke atas sandaran sofa, dan pinggulku berada di posisi kepalaku sebelumnya bersandar. Sementara kepalaku sekarang berada dibawah.

Jaka melumuri kontolnya dengan madu lagi dan memasukannya lagi ke dalam mulutku. Mulutku pun dihujami berbagai tusukan ganas kontolnya yang begitu keras dan panjang, yang untuk beberapa kali kadang meleset dan keluar dari mulutku menggesek pipiku. Dan karena posisi tubuhku saat ini, kontolnya bisa langsung masuk ke kerongkonganku. Ia seakan menganggap mulutku adalah memekku.

"Waahh.. enak sekali. Posisi ini memang yang terbaik! Mulut kakak terasa enak sekali pada gaya ini."

Ia menganggapnya mulutku, tapi yang sebenarnya menjepit kuat kepala kontolnya adalah kerongkonganku. Dan saat ini aku merasa lubang kerongkonganku seakan semakin melebar karena terus diterobosi oleh kepala kontolnya. Awalnya memang aku merasa ingin muntah, tapi karena sudah terlalu sering aku jadi terbiasa.

Aku tak bisa melihatnya dari sudut pandangku sekarang, tapi aku merasa kalau dia melepaskan celana dalamku. Kemudian aku merasa cairan lengket dan dingin melumuri memekku. Setelahnya aku merasakan jikatan dan tusukan benda lembut dan hangat di memekku dan rasanya sangat luar biasa.

Rasa madu di kontolnya mulai memudar. Tapi nampaknya Jaka lebih sibuk dengan memekku saat ini dan membiarkanku merasakan rasa kontolnya sebagai gantinya.

Rasa kontolnya mulai terbiasa di mulutku. Begitu juga dengan bentuk kontolnya yang semakin kuingat karena terlalu seringnya keluar masuk ke dalam mulutku. Sekarang aku tak bisa memikirkan benda lain masuk ke mulutku kecuali kontolnya. Bukan bakso, bukan mie ayam, tapi kontol Jaka. Bahkan kontol suamiku pun aku lupa. Meski aku ingat gambarannya di kepalaku, tapi tidak dengan di mulutku.

Hanya kontol Jaka.

Hanya milik Jaka saja yang paling kuingat dan kuinginkan sekarang.

Dan itu terus keluar masuk di dalam mulutku membuatku bahagia.

Aku merasa kontolnya makin memanjang dan mengeras. Urat-uratnya mengencang di kepalanya.

"Aaahh.. aku keluar kak! Telan! Telan semuanya!"

Dan spermanya pun menyembur. Spermanya menyembur langsung ke dalam kerongkonganku. Ia membenamkan kontolnya dalam-dalam dan akhirnya spermanya menyemprot langsung ke kerongkonganku hingga aku merasa seperti sesuatu yang hangat masuk ke dalam lambungku.

Jaka mencabut kontolnya yang mulai melemas.

"Bagaimana kak? Enak kan?"

Aku tak bisa menjawabnya. Aku mendengarnya, tapi otakku terlalu blank untuk merespon. Otakku masih dipenuhi oleh sensasi kontol Jaka di mulutku. Dan tanpa sadar tanganku meraih kontol yang melemas itu dan mencoba mengocoknya seakan berharap itu bangkit lagi.

"Wah.. kakak malah jadi doyan nih kayaknya. Tapi sebaiknya jangan deh kak. Nanti kakak lakukan dengan senior saja. Kan madunya masih nyisa tuh" ujarnya terkesan mengejek.

Lalu dia bangkit dan mulai memakai pakaiannya lagi dengan rapi.

"Terima kasih untuk pelayanannya kakak. Uangnya aku taruh di atas meja ya. Kalau begitu aku permisi dulu. Bye!"

Kemudian ia pun pergi begitu saja meninggalkanku yang masih dalam posisi terbalik di sofa dan kehabisan napas dan terengah-engah.

Ketika kesadaranku mulai terkumpul kembali, aku pun mulai membereskan pakaianku dan memakain celana dalamku lagi. Aku mengambil amplop uang yang ada di atas meja. Dan duduk di sofa sambil menundukkan kepalaku mencoba mengingat-ingat apakah aku telah dibuat klimaks olehnya saat tadi? Tapi sayangnya aku tidak bisa mengingatnya sama sekali. Aku tak mengingat apapun kecuali kontolnya dimulutku.

Aku merasa menyesal dalam hati, tapi sisi lain hatiku, aku merasa seperti menginginkannya lagi. Aku bingung.

Aku pun menyalakan TV dan mencoba melupakan hal yang baru saja terjadi.

Saat itu lah Anton pulang.